Sunday, June 11, 2017

Meladani Ibrahim , Asy-Syu'araa' [26]: 79- 82

📖"Dan Dialah yang memberiku makan dan memberiku minum."
(Q.s Asy-Syu'araa' [26]: 79)

Allah tidak menciptakan satu makhluq dengan sia-sia. setiap yg melata di atas  bumi pasti Dia jamin penghidupannya. Setiap yg berjiwa, takkan dimatikan sebelum digenapkan seluruh rizqinya. "Dialah Penciptaku," demikian Imam Ibn Katsir menulis dalam Tafsirnya, "maka Dia yang menjamin rizqiku dengan pengaturan-Nya."

"Dia memudahkannya dengan sebab-sebab langit dan sebab-sebab bumi," lanjut beliau. "Dialah yang membelah awan, mennurunkan hujan, lalu Dia hidupkan dengan air itu, bumi sesudah matinya untuk Dia keluarkan darinya segala buah-buahan sebagai rizqi bagi segenap makhluq. Pun Dia pancarkan air yang sejuk, yang menjadi minuman bagi manusia dan binatang-binatang."

"Allah-lah yang menciptakan makanan dan minuman bagiku," ujar 'Aidh Al-Qarni dalam Tafsir Al-Muyassar,  "maka Dialah Dzaat pemberi rizqi, sendiri tiada sekutu, dan mampu tanpa pembantu. Dialah yang memberiku nikmat, terhadap segala yang Dia Nikmatkan."

Maka, tidak sempurna kehambaan kita pada Allah tanpa kepasrahan sejati dalam urursan rizqi. Di lapis-lapis keberkahan, kita menginsyafi bahwa bekerjanya kita adalah bagian dari rizqi; untuk menjemput sesuap pendapatan yang ianya bagian dari rizqi. Dalam soal rizqi, perencanaan kita adalah rizqi, pelaksanaannya adalah rizqi, dan hasilnya adalah rizqi.

Sebab, bahkan diri kita pun adalah rizqi; hati yang bersih, pikir yang jernih, dan raga yang tak ringkih.

Maka, betapa zhalim yg merasa mampu diri menanggung rizqi, bahkan memberi makan anak dan isteri. Jika hati penuh yakinnya akan rizqi, maka Allah ringankan pikir dan jasadnya dalam upaya. Tapi jika hati merasa rizqi adalah semata pekerjaan dan pendapatannya, Allah akan bebankan penghidupan yg terasa sempit, sesak dan berat.

***

📖"Dan apabila aku sakit, maka Dialah yang menyembuhkanku." (Q.s Asy-Syu'araa' [26]: 80)

"Karena aku ditimpa sesakit," demikian tafsir Al Qarni, "maka tiada yang memulihkan 'afiatku selain Dia." tentu saja hakikatnya adalah tiada yg memulihkan aas kuasa dan ketetapan-Nya. Sakit sebagai bagian dari musibah adalah timpaan Allah untuk menguji manusia. Allah sumpahkan ujian itu pasti akan Dia bencanakan. Ianya berupa rasa takut, rasa lapar, berkurang harta, jiwa, dan paceklik buah-buahan.

Setiap kita akan mengalaminya; dan berilah kabar gembira bagi mereka yg bersabar.

Tetapi di ayat ini, Ibrahim bukan cuma memberitahukan hakikat, melainkan juga meneladankan adab. Dia tidak sandarkan penyakit yg menimpa kepada Rabbnya, meski demikian hakikatnya. Ibrahim hanya menyebut bahwa dirinya sakit. Adab menahan dari berbicara dengan nada mendakwakan datangnya keburukan dari Penciptanya. tapi dia tegaskan bahwa segala penawar, obat, penyembuh dan pemulih hanya berasal dari Allah 'Azza wa Jalla.

Betapa indah hidup Ibrahim. setiap musibah dia terima dengan keridhaan tanpa menyalahkan Rabbnya yang telah menetapkan. Lalu dia sandarkan segala harap akan penyelesaian pada Allah yang kuasa mengangkat dan menimpakan. Di lapis-lapis keberkahan, ada pengaduan sekaligus harap, juga ada hakikat yang dikemas cantik dalam adab.

***

"Pada suatu ketika," demikian dalam kitab At-Tadzkirah karya Imam Al-Qurthubi, "Allah mengutus Malaikat Maut mendatangi Ibrahim 'Alaihissalam untuk mencabut nyawanya, sebab telah tiba ajalnya. Melihat kedatangan sang pemutus segala kenikmatan dunia itu, Ibrahim bergegas menyambut dan mengatakan:

"Wahai Malaikat Maut, sampaikan kepada Allah; adakah Kekasih yang tega menyakiti dengan membunuh Kesayangan-Nya?"

Mendapati pertanyaan tersebut, Malaikat Maut bersegera kembali ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dia sampaikan pada Rabbnya, dan sungguh ilmu Allah meliputi segala sesuatu dan mendahului semua perkara. Berfirmanlah Allah 'Azza wa Jalla.

'Katakanlah pada Ibrahim; adakah kekasih yang enggan untuk berjumpa dengan Yang Dicintainya?'

Malaikat Maut itu pun bersegera kembali menemui Ibrahim untuk menyampaikan halnya, dan kali ini dengan berseri-seri Ibrahim berkata:

"Wahai Malaikat Maut, cabut nyawaku sekarang juga!"

📖"Dan yang akan mematikanku kemudian menghidupkanku kembali."  (Q.s Asy-Syu'araa' [26]: 81)

Di ayat berikutnya ini, Ibrahim menambahkan pemahaman tentang hakikat mati dan hidup. Bahwa kita rindu untuk jumpa dengan Allah, sebab kita beriman kepada-Nya. Bahwa kita mengharap adanya akhirat, sebab kita beramal shalih. Di sanalah setiap kebajikan dibalas dengan sempurna, berlipat juta. Dan pintu yang harus kita masuki untuk menjumpai keindahan ganjaran surga serta kenikmatan berjumpa dengan Allah 'Azza wa Jalla adalah kematian.

Perhatikanlah alam buana. Ada bunga mekar dan layu. Ada bintang berpijar dan padam. Bumi, matahari, bima sakti, dan semesta ini; akan tiba masanya mereka untuk tiada lagi. Hidup seorang manusia, jika dibandingkan semua itu, tak lebih hanyalah sekedipan mata.

Dalam sekejap kefanaan itu, insan tumbuh dan jatuh, meraih dan ditagih, berlari dan terluka, menangis dan tertawa, membenci dan mencinta.

Lalu mereka tak mampu mengelak dari kejaran waktu. Manusia kan tertangkap dan jatuh ke dalam tidur yang gelap dan pasti bernama kematian. tapi tentu saja, kematian bukanlah kesimpulan. Ia hanya sebuah perpindahan. Ia hanya sebuah pintu mungil untuk memasuki hidup diatas hidup.

Di lapis-lapis keberkahan, pemahaman tentang mati dan hidup adalah asas bagi nikmatnya beramal shalih.

***

📖"Dan yang amat kuinginkan tuk mengampuni kesalahku pada Hari Pembalasan." (Q.s Asy-Syu'araa' [26]: 82)

"Keinginan Ibrahim yang paling puncak," kata Sayyid Quthb melanjutkan tadabburnya dalam Fi Zhilalil Qur'an, "adalah harapan semoga Allah mengampuni dosa-dosanya pada Hari Kiamat." Betapa bersahaja, tapi penuh tata karma. "Jadi, Ibrahim tidak merasa bebas dari kesalahan," sambung Sayyid Quthb, "dia justru senantiasa khawatir atas kesalahan yang dilakukannya." Dalam harapnya ada rasa takut; dalam takutnya ada harap.

Demikianlah orang mulia. seperti kata Imam Asy-Syafi'i, "Orang yang paling mulia adalah dia yang paling merasa tak punya kemuliaan. Orang luhur adalah dia yang merasa tak punya keluhuran." Kebalikannya digambarkan oleh Bisyr ibn Al-Harish, "Dia yang merasa tak bersalah adalah orang yang paling besar kesalahannya."

Demikian besar malu dan ketndukannya pada Allah, hingga Ibrahim tidak bersandar pada amalnya. "Dan dia tak pernah memandang bahwa bersebab amal itu ndirinya berhak atas sesuatu," simpul Sayyid Quthb. Hanyasanya, dia sangat berharap pada karunia Rabbnya dan sangat mengiba pada rahmat-Nya. Maka puncak keinginannya adalah kemaafan dan ampunan-Nya.

Maka, puncak harapannya adalah keridhaan Allah.

Betpa indah hidup Ibrahim yang diasahi keinsyafan. Bahwa Allah Pencipta dan Penunjuk jalannya. Bahwa Allah penjamin rizqinya. Bahwa Allah penyembuh laranya. Bahwa Allah penguasa mati dan hidupnya. Bahwa Allah adalah harapan untuk kemaafan, ridha dan ganjaran di Hari Pembalasan.

Mari hidup di lapis-lapis keberkahan. mari memesrakan hidup pada Penggenggam hati kita. Dialah yang telah menulis takdir kita, menjadikan musibah sebagai selingan  berharga bagi limpahan karunia. Dari-Nya kita bermula, dan pada-Nya jua kita pulang.

~Karya: Ust Salim A Fillah
~Dipetik dari Lapis-Lapis Keberkahan